
Oleh: Dimas Azie Prasetyo (Kelas X DKV)
Sekarang ini, banyak orang sering mengaitkan berbagai hal dengan kata “bercanda.” Ada yang memang niatnya untuk menghibur, tapi ada juga yang tanpa sadar justru mengarah ke hal yang negatif. Di zaman sekarang, orang tidak lagi harus menunjukkan kebencian lewat tindakan fisik, karena bullying bisa muncul dalam bentuk verbal atau nonverbal. Tapi, apa sebenarnya makna dari “bercanda” itu? Apakah bercanda berarti kita bisa seenaknya merusak mental orang lain? Apakah bercanda bisa dibenarkan kalau akhirnya malah meninggalkan trauma pada seseorang?
Di lingkungan sekolah, memang wajar jika teman-teman saling bercanda. Namun, jika bercanda itu justru merugikan dan menyakiti orang lain, apakah itu masih bisa dianggap wajar? Biasanya, bullying dimulai dari hal-hal kecil. Awalnya mungkin hanya iseng, niatnya lucu-lucuan, tapi lama-lama hal itu bisa membesar. Di awal, korban mungkin hanya tertawa dan terlihat baik-baik saja, tapi apakah kita yakin dia akan terus kuat menerima itu setiap hari? Terus menerus menerima hinaan, ejekan, atau bahkan direndahkan harga dirinya? Di mana letak “bercanda” yang sebenarnya?
Sering kali kita melihat korban tersenyum, seolah tidak masalah dengan semua perlakuan itu. Padahal, tidak selamanya seseorang bisa menahan hinaan dan tekanan mental. Di sekolah, perilaku bullying sering kali semakin menjadi-jadi. Dari yang awalnya hanya candaan kecil, lama-lama bisa membuat korban kehilangan rasa percaya diri dan bahkan mengalami trauma. Trauma bukanlah hal yang sepele. Trauma adalah luka mental yang sulit sembuh. Saat korban kehilangan rasa percaya diri, itu berarti ia telah kehilangan sebagian harapan akan masa depannya. Siapa yang berperan merusak itu? Ya, para pelaku bullying.
Meski mungkin suatu hari korban bisa memaafkan, bukan berarti ia akan lupa. Setiap orang menyimpan memori, baik yang manis maupun yang pahit dalam hidupnya. Pernah dengar pepatah “mulutmu harimaumu”? Itu benar adanya. Bukan hanya ucapan, tetapi tindakan kita juga bisa menjadi “harimau” yang terus menerkam korban. Bayangkan, bagaimana nasib seseorang yang setiap hari hidup dalam ancaman? Harimau mana yang bisa diajak bercanda? Senyum korban bukan berarti ia selalu baik-baik saja. Bisa jadi, itu hanyalah cara dia menutupi sakit yang dirasakannya.
Tidak sedikit kasus di mana korban bullying akhirnya mengalami gangguan mental serius hingga mengakhiri hidupnya. Selain trauma, kesehatan mental korban bisa ikut hancur. Ingat, membuli tidak hanya menghancurkan masa depan korban, tapi juga masa depan pelakunya. Banyak pelaku yang akhirnya dijerat hukum, tergantung dari seberapa parah tindakannya. Bisa kena penjara, denda, atau keduanya. Contohnya, Pasal 80 UU Perlindungan Anak atau Pasal 27 UU ITE. Itu baru hukum di dunia. Bagaimana dengan hukum di akhirat nanti? Masih yakin semua itu cuma “bercanda”?
Di sekolah, bentuk bullying sering terlihat sepele, seperti menjauhi teman, mengejek, menggosip, mengganggu, dan sebagainya. Meski terlihat kecil, jika dibiarkan, itu akan menjadi kebiasaan buruk yang membudaya. Pihak sekolah harus tegas dan lebih peka, sebab bullying tidak selalu terlihat secara kasat mata. Tidak hanya soal fisik, tapi juga soal kesehatan mental siswa.
Bagi para pelaku, berhentilah sebelum terlambat. Karena yang kalian hancurkan bukan hanya hidup orang lain, tetapi juga hidup kalian sendiri. Untuk para korban dan siapa pun yang menyaksikan, jangan diam. Jangan anggap seolah tidak terjadi apa-apa. Mulailah berbicara, ceritakan yang sebenarnya. Untuk korban, jika merasa tidak sanggup, curhatlah pada orang terdekat. Mereka yang paling mengerti apa yang kamu rasakan.
Ingat baik-baik: membully sama saja merusak masa depan !